web widgets

Kamis, 30 Oktober 2014

DATANG BULAN, BOLEHKAH SEMBAHYANG?


DATANG BULAN, BOLEHKAH SEMBAHYANG?
 


I Gede Sudarsana,S.Ag
Wakil Ketua PHDI Kab. Luwu Timur, Sulsel
Periode 2014-2019
 
Pertanyaan di atas acap kali terlontar dari para remaja putri Hindu, yang sudah akil balik alias sudah mengalami panca roba dalam jasmaninya yaitu dalam bentuk mensturasi atau yang lasim disebut datang bulan. Pada kondisi ini para ABG (anak baru gede) biasa menyebut dirinya dengan ungkapan “duh ! lagi dapet nih”, tersirat jelas dari ungkapan tersebut bernada keluhan, bahwa tidak dapat dipungkiri pada kondisi demikian sedikit tidaknya mengganggu aktivitas mereka, sekurang-kurangnya mereka tidak beraktivitas sebebas pada kondisi normal.
Sebagaimana nilai-nilai etika yang berlaku pada umumnya, bahwa segala sesuatu yang sudah terlepas atau keluar dari badan/jasmani manusia, maka sesuatu tersebut dipandang kotor, seperti misalnya rambut, jika masih melekat di kepala ia akan menjadi mahkota seseorang tetapi jika sudah terlepas dari kepala dan berada pada bukan tempatnya misalnya berada pada makanan maka itu dipandang kotor. Contoh lain air liur/ludah jika masih dimulut tidak seorangpun memandang itu kotor, tapi jika sudah diludahkan/dikeluarkan dari mulut maka siapapun akan jijik olehnya dan memandang itu kotor. Demikian pula orang yang mengalami datang bulan, dipandang kotor karena memang sejatinya ada darah kotor keluar dari salah satu organ tubuhnya, pada kondisi ini dalam bahasa agama Hindu orang tersebut disebut dalam keadaan cuntaka.
Karena paradigma inilah, kemudian sebagian kaum hawa berasumsi bahwa pada kondisi ini mereka tidak boleh sembahyang (Tri Sandhya) karena menganggap dirinya kotor sebab sedang dalam keadaan cuntaka, dan memandang dirinya tak layak untuk memuja/menghubungkan diri dengan yang maha suci Hyang Widhi. Terhadap fenomena tersebut di atas, lantas timbul pertanyaan Benarkah orang yang sedang datang bulan tidak boleh sembahyang?
Menurut theologi Hindu, Tuhan/Hyang Widhi itu bersifat “Wyapi wyapaka nirwikara”, yang artinya Tuhan ada dimana-mana, namun tidak terpengaruh oleh yang ada. Hal senada pun dinyatakan dalam kitab Svetara Upanisad VI.II, menguraikan sebagai berikut:
                        Eko devas sarva bhutesu gudhas
                        sarva vyapi sarva bhutantar-atma
                        karmadhyaksas sarva bhuta drivassas
                        saksi ceta kevalo nirgunasca.
            Artinya:
                        Tuhan yang tunggal sembunyi (ada) pada semua makhluk,
                        menyusupi segala inti hidupnya semua makhluk,
                        hakim semua perbuatan yang berada pada semua makhluk,
                        saksi yang mengetahui, yang tunggal, bebas dari kualitas apapun.

Merujuk pada sumber kitab suci di atas, jelaslah bahwa Tuhan itu tidak akan terpengaruh oleh yang ada di dunia ini (termasuk ciptaanNya), Tuhan terbebas dari kualitas apapun. Jadi dengan demikian bagaimanapun kondisi kita, suci ataupun cuntaka, datang bulan ataupun tidak, itu tidak akan berdampak apapun terhadap keberadaan Tuhan yang maha suci. Tuhan tidak akan terpengaruh oleh unsur-unsur duniawi. Jika demikian jelaslah terjawab bahwa bagaimanapun kondisi kita, aktivitas sembahyang (Tri Sandhya) itu tetap dapat dan wajib dilakukan, dengan tidak mengunjungi tempat suci (Pura). Mengapa demikian?, oleh karena justru pada saat cuntakalah kita lebih intensif bersembahyang/mendekatkan diri pada Tuhan, sebab saat itu kondisi kita sedang labil baik secara jasmani maupun rohani. Pada kondisi seperti itu tentunya membutuhkan tuntunan dan pertolongan Tuhan agar kita bisa mengendalikan ketidak stabilan tersebut.
Dalam agama Hindu ada dua cara memuja Tuhan yaitu Niwerti Marga dan Prawerti Marga. Pada kondisi cuntaka seyogyanya aktivitas sembahyang (Tri Sandhya) dilakukan dengan cara Niwerti Marga adalah memuja Tuhan dengan jalan ke dalam diri, yaitu melakukan pemujaan dengan manasa japa, mengulang-ulang mantra suci dalam hati. Pada konteks ini memuja Tuhan dengan jalan ke dalam diri, dapat diinterpretasikan yaitu memuja Tuhan dengan jalan tidak melakukan aktivitas keluar dari lingkungan rumah, sekolah, ataupun kantor tempat kita dalam melakukan rutinitas kita keseharian, artinya tidak menuju ke tempat-tempat suci seperti: sanggah/merajan, apalagi ke Pura umum. Aktivitas sembahyang (Tri Sandhya) dapat dilakukan dalam kamar sendiri jika di rumah dan di kelas jika di sekolah serta di kantor jika sedang bekerja.
Sedangkan pada kondisi normal atau tidak dalam keadaan cuntaka dapat melakukan kedua cara memuja Tuhan yaitu Niwerti Marga dan Prawerti Marga, yang dimaksud dengan Prawerti Marga adalah memuja Tuhan dengan maju keluar dari dirinya. Bergerak kedepan di luar diri itu berarti mengarahkan pemujaan kepada Tuhan dengan media bhuana agung/alam semesta raya di luar diri kita, ini berarti melakukan pemujaan dengan menggunakan media tempat suci yang sejatinya merupakan simbol alam semesta itu sendiri yang merupakan sthana dari Tuhan, yaitu dengan cara memuja Tuhan ke tempat-tempat suci (Pura).
Mengapa jika dalam keadaan cuntaka tidak boleh ke tempat suci?, hal ini disebabkan yaitu oleh karena orang yang cuntaka adalah orang yang dalam keadaan tidak seimbang dalam dirinya. Ketidak seimbangan diri itu dapat menimbulkan vibrasi buruk. Vibrasi buruk ini dapat merusak vibrasi orang lain yang sedang berada di tempat suci untuk mengupayakan memunculkan vibrasi suci dalam dirinya guna dapat menghubungkan diri dengan Tuhan yang maha suci, dan dikawatirkan pula nantinya dapat mempengaruhi vibrasi kesucian dari tempat suci yang dikunjungi oleh orang yang sedang dalam keadaan cuntaka tersebut.
Karena itu ke tempat-tempat suci/pemujaan umum tidak dibolehkan guna menghindarkan vibrasi buruk tersebut mempengaruhi orang lain dan mempengaruhi vibrasi kesucian tempat suci, sebab kedua hal ini merupakan unsur duniawi sehingga masih dapat dipengaruhi, sedangkan Tuhan tidak akan pernah terpengaruh oleh apapun dan siapapun, Beliau tetap suci walau apapun yang terjadi. (Tulisan ini telah dipublikasikan oleh Majalah Hindu yaitu Warta Hindu Dharma).