DATANG BULAN, BOLEHKAH SEMBAHYANG?
Pertanyaan
di atas acap kali terlontar dari para remaja putri Hindu, yang sudah akil balik
alias sudah mengalami panca roba dalam jasmaninya yaitu dalam bentuk mensturasi
atau yang lasim disebut datang bulan. Pada kondisi ini para ABG (anak baru gede) biasa menyebut dirinya dengan
ungkapan “duh ! lagi dapet nih”, tersirat jelas dari ungkapan tersebut bernada
keluhan, bahwa tidak dapat dipungkiri pada kondisi demikian sedikit tidaknya
mengganggu aktivitas mereka, sekurang-kurangnya mereka tidak beraktivitas
sebebas pada kondisi normal.
Sebagaimana nilai-nilai etika yang berlaku pada umumnya, bahwa segala sesuatu yang sudah terlepas atau keluar dari badan/jasmani manusia, maka sesuatu tersebut dipandang kotor, seperti misalnya rambut, jika masih melekat di kepala ia akan menjadi mahkota seseorang tetapi jika sudah terlepas dari kepala dan berada pada bukan tempatnya misalnya berada pada makanan maka itu dipandang kotor. Contoh lain air liur/ludah jika masih dimulut tidak seorangpun memandang itu kotor, tapi jika sudah diludahkan/dikeluarkan dari mulut maka siapapun akan jijik olehnya dan memandang itu kotor. Demikian pula orang yang mengalami datang bulan, dipandang kotor karena memang sejatinya ada darah kotor keluar dari salah satu organ tubuhnya, pada kondisi ini dalam bahasa agama Hindu orang tersebut disebut dalam keadaan cuntaka.
Sebagaimana nilai-nilai etika yang berlaku pada umumnya, bahwa segala sesuatu yang sudah terlepas atau keluar dari badan/jasmani manusia, maka sesuatu tersebut dipandang kotor, seperti misalnya rambut, jika masih melekat di kepala ia akan menjadi mahkota seseorang tetapi jika sudah terlepas dari kepala dan berada pada bukan tempatnya misalnya berada pada makanan maka itu dipandang kotor. Contoh lain air liur/ludah jika masih dimulut tidak seorangpun memandang itu kotor, tapi jika sudah diludahkan/dikeluarkan dari mulut maka siapapun akan jijik olehnya dan memandang itu kotor. Demikian pula orang yang mengalami datang bulan, dipandang kotor karena memang sejatinya ada darah kotor keluar dari salah satu organ tubuhnya, pada kondisi ini dalam bahasa agama Hindu orang tersebut disebut dalam keadaan cuntaka.
Karena
paradigma inilah, kemudian sebagian kaum hawa berasumsi bahwa pada kondisi ini
mereka tidak boleh sembahyang (Tri Sandhya) karena menganggap dirinya kotor
sebab sedang dalam keadaan cuntaka, dan memandang dirinya tak layak untuk memuja/menghubungkan
diri dengan yang maha suci Hyang Widhi. Terhadap fenomena tersebut di atas,
lantas timbul pertanyaan Benarkah orang yang sedang datang bulan tidak boleh
sembahyang?
Menurut
theologi Hindu, Tuhan/Hyang Widhi itu bersifat “Wyapi wyapaka nirwikara”, yang
artinya Tuhan ada dimana-mana, namun tidak terpengaruh oleh yang ada. Hal
senada pun dinyatakan dalam kitab Svetara Upanisad VI.II, menguraikan sebagai
berikut:
Eko
devas sarva bhutesu gudhas
sarva
vyapi sarva bhutantar-atma
karmadhyaksas sarva bhuta drivassas
saksi ceta
kevalo nirgunasca.
Artinya:
Tuhan
yang tunggal sembunyi (ada) pada semua makhluk,
menyusupi
segala inti hidupnya semua makhluk,
hakim semua perbuatan yang berada pada semua makhluk,
saksi
yang mengetahui, yang tunggal, bebas dari kualitas apapun.
Merujuk
pada sumber kitab suci di atas, jelaslah bahwa Tuhan itu tidak akan terpengaruh
oleh yang ada di dunia ini (termasuk ciptaanNya), Tuhan terbebas dari kualitas
apapun. Jadi dengan demikian bagaimanapun kondisi kita, suci ataupun cuntaka,
datang bulan ataupun tidak, itu tidak akan berdampak apapun terhadap keberadaan
Tuhan yang maha suci. Tuhan tidak akan terpengaruh oleh unsur-unsur duniawi. Jika
demikian jelaslah terjawab bahwa bagaimanapun kondisi kita, aktivitas
sembahyang (Tri Sandhya) itu tetap dapat dan wajib dilakukan, dengan tidak
mengunjungi tempat suci (Pura). Mengapa demikian?, oleh karena justru pada saat
cuntakalah kita lebih intensif bersembahyang/mendekatkan diri pada Tuhan, sebab
saat itu kondisi kita sedang labil baik secara jasmani maupun rohani. Pada
kondisi seperti itu tentunya membutuhkan tuntunan dan pertolongan Tuhan agar
kita bisa mengendalikan ketidak stabilan tersebut.
Dalam
agama Hindu ada dua cara memuja Tuhan yaitu Niwerti Marga dan Prawerti Marga.
Pada kondisi cuntaka seyogyanya aktivitas sembahyang (Tri Sandhya) dilakukan
dengan cara Niwerti Marga adalah memuja Tuhan dengan jalan ke dalam diri, yaitu
melakukan pemujaan dengan manasa japa, mengulang-ulang mantra suci dalam hati.
Pada konteks ini memuja Tuhan dengan jalan ke dalam diri, dapat diinterpretasikan
yaitu memuja Tuhan dengan jalan tidak melakukan aktivitas keluar dari
lingkungan rumah, sekolah, ataupun kantor tempat kita dalam melakukan rutinitas
kita keseharian, artinya tidak menuju ke tempat-tempat suci seperti:
sanggah/merajan, apalagi ke Pura umum. Aktivitas sembahyang (Tri Sandhya) dapat
dilakukan dalam kamar sendiri jika di rumah dan di kelas jika di sekolah serta
di kantor jika sedang bekerja.
Sedangkan pada kondisi normal atau tidak dalam keadaan cuntaka dapat melakukan kedua cara memuja Tuhan yaitu Niwerti Marga dan Prawerti Marga, yang dimaksud dengan Prawerti Marga adalah memuja Tuhan dengan maju keluar dari dirinya. Bergerak kedepan di luar diri itu berarti mengarahkan pemujaan kepada Tuhan dengan media bhuana agung/alam semesta raya di luar diri kita, ini berarti melakukan pemujaan dengan menggunakan media tempat suci yang sejatinya merupakan simbol alam semesta itu sendiri yang merupakan sthana dari Tuhan, yaitu dengan cara memuja Tuhan ke tempat-tempat suci (Pura).
Mengapa jika dalam keadaan cuntaka tidak boleh ke tempat suci?, hal ini disebabkan yaitu oleh karena orang yang cuntaka adalah orang yang dalam keadaan tidak seimbang dalam dirinya. Ketidak seimbangan diri itu dapat menimbulkan vibrasi buruk. Vibrasi buruk ini dapat merusak vibrasi orang lain yang sedang berada di tempat suci untuk mengupayakan memunculkan vibrasi suci dalam dirinya guna dapat menghubungkan diri dengan Tuhan yang maha suci, dan dikawatirkan pula nantinya dapat mempengaruhi vibrasi kesucian dari tempat suci yang dikunjungi oleh orang yang sedang dalam keadaan cuntaka tersebut.
Karena itu ke tempat-tempat suci/pemujaan umum tidak dibolehkan guna menghindarkan vibrasi buruk tersebut mempengaruhi orang lain dan mempengaruhi vibrasi kesucian tempat suci, sebab kedua hal ini merupakan unsur duniawi sehingga masih dapat dipengaruhi, sedangkan Tuhan tidak akan pernah terpengaruh oleh apapun dan siapapun, Beliau tetap suci walau apapun yang terjadi. (Tulisan ini telah dipublikasikan oleh Majalah Hindu yaitu Warta Hindu Dharma).
Sedangkan pada kondisi normal atau tidak dalam keadaan cuntaka dapat melakukan kedua cara memuja Tuhan yaitu Niwerti Marga dan Prawerti Marga, yang dimaksud dengan Prawerti Marga adalah memuja Tuhan dengan maju keluar dari dirinya. Bergerak kedepan di luar diri itu berarti mengarahkan pemujaan kepada Tuhan dengan media bhuana agung/alam semesta raya di luar diri kita, ini berarti melakukan pemujaan dengan menggunakan media tempat suci yang sejatinya merupakan simbol alam semesta itu sendiri yang merupakan sthana dari Tuhan, yaitu dengan cara memuja Tuhan ke tempat-tempat suci (Pura).
Mengapa jika dalam keadaan cuntaka tidak boleh ke tempat suci?, hal ini disebabkan yaitu oleh karena orang yang cuntaka adalah orang yang dalam keadaan tidak seimbang dalam dirinya. Ketidak seimbangan diri itu dapat menimbulkan vibrasi buruk. Vibrasi buruk ini dapat merusak vibrasi orang lain yang sedang berada di tempat suci untuk mengupayakan memunculkan vibrasi suci dalam dirinya guna dapat menghubungkan diri dengan Tuhan yang maha suci, dan dikawatirkan pula nantinya dapat mempengaruhi vibrasi kesucian dari tempat suci yang dikunjungi oleh orang yang sedang dalam keadaan cuntaka tersebut.
Karena itu ke tempat-tempat suci/pemujaan umum tidak dibolehkan guna menghindarkan vibrasi buruk tersebut mempengaruhi orang lain dan mempengaruhi vibrasi kesucian tempat suci, sebab kedua hal ini merupakan unsur duniawi sehingga masih dapat dipengaruhi, sedangkan Tuhan tidak akan pernah terpengaruh oleh apapun dan siapapun, Beliau tetap suci walau apapun yang terjadi. (Tulisan ini telah dipublikasikan oleh Majalah Hindu yaitu Warta Hindu Dharma).
blog yang bagus terimakasih infonya
BalasHapuskalau seandainya sudah melakukan keramas ketika sudah masa cuntaka slama 3 hari ,,apa masih tidak boleh memasuki pura.
BalasHapusmatur suksma bli🙏
BalasHapusKurang jelas..kalo datang bulan trus mebanten..sebelumnya sudah keramas boleh??
BalasHapusKurang jelas..kalo datang bulan trus mebanten..sebelumnya sudah keramas boleh??
BalasHapusBlog yang sangat berguna. Terima kasih.
BalasHapusBli tyg mau nanya, kalo ada flek sebelum menstruasi itu masih boleh sembahyang nggak? Soalnya ini belum keluar darah makanya jd ragu.
BalasHapusKalo misalkan ada ujian praktek agama yg mengharuskan untuk tri sandhya,tapi sedang haid solusinya gimana?
BalasHapusApa bila seorang yg datang bulan apa boleh melakukan semedi walau itu di lakukan di dalam kamar
BalasHapus